Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun 'Alaihimassalam I

Di zaman dahulu, negeri Mesir dipimpin oleh raja yang zalim dan kejam dikenal dengan sebutan "Fir'aun," ia memperbudak kaumnya dan menindas mereka, bersikap sewenang wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka dan mempekerjakan mereka dengan kerja paksa. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang orang yang berbuat kerusakan.

Mereka yang tertindas ini adalah bani Israil, suatu kaum yang nasab mereka sampai kepada Nabi Israil atau Ya'qub 'alaihissalam. Bani Israil menempati negeri Mesir ketika Nabi Yusuf 'alaihissalam menjabat sebagai menterinya.

Suatu ketika Fir'aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain rumah rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir'aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya itu.

Lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir'aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih anak anak laki laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut.¹

Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki laki yang masih kecil. Mereka khawatir jika orang orang dewasanya wafat, sedang anak anaknya dibunuh, nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga mereka pergi mendatangi Fir'aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir'aun berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki laki secara umum dan membiarkan mereka secara umum.

Harun lahir pada tahun ketika anak anak tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada tahun terjadinya pembunuhan. Maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh, sehingga ia memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara Fir'aun yang senantiasa menanti anak anak Bani Israil untuk dibunuhnya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir'aun datang. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
وَاَ وْحَيْنَاۤ اِلٰۤى اُمِّ مُوْسٰۤى اَنْ اَرْضِعِيْهِ ۚ فَاِ ذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَ لْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَا فِيْ وَلَا تَحْزَنِيْ ۚ اِنَّا رَآ دُّوْهُ اِلَيْكِ وَجٰعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ

"Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, "Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang Rasul." (QS. Al Qasas 28 : Ayat 7)
Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya. Pada saat tentara Fir'aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir'aun pergi, maka ia menarik kembali peti itu.

Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Musa diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke mana peti ini berhenti.

Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai, bergoyang ke kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa ke arah istana Fir'aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat peti itu mengarah ke istana Fir'aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya untuk memberitahukan perkara itu, sehingga hati ibu Musa menjadi kosong. Hampir saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya, bahwa Musa adalah anaknya sendiri.

Ketika itu, Asiyah, istri Fir'aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.

Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan penyembelihan, lalu ia membawanya kepada suaminya dan berkata dengan penuh rasa kasihan,
وَقَا لَتِ امْرَاَ تُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَ ۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖ عَسٰۤى اَنْ يَّـنْفَعَنَاۤ اَوْ نَـتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

"Dan istri Fir'aun berkata, "(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak," sedang mereka tidak menyadari." (QS. Al Qasas 28 : Ayat 9)
Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Musa memberikan manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk surga dengan sebabnya.

Ketika Fir'aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir'aun menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai anak.

Kembalinya Bayi Musa kepada Ibunya

Setelah berlalu beberapa saat, sedang Asiyah menggendong bayi Musa dengan penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa menangis dengan sedihnya. Hatinya kosong terhadap urusan dunia selain urusan Musa, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya, tetapi bayi Musa menolak semuanya.

Hal tersebut membuat penghuni istana sibuk memikirkannya dan berita ini tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Musa mengetahui hal itu. Ia pun pergi ke istana dan menemui Asiyah, istri Fir'aun dan memberitahukan bahwa ia mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini. Maka Asiyah bergembira sekali dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke hadapannya.

Saudari Musa pun pulang dan menemui ibunya yang sedang dalam keadaan menangis karena kehilangan anaknya, lalu saudari Musa memberitahukan hal yang terjadi antara dirinya dengan istri Fir'aun, sehingga tenanglah ibu Nabi Musa dan lega hatinya.

Ibu Nabi Musa pun pergi bersama putrinya ke istana Fir'aun. Ketika telah masuk ke istana dan menemui istri Fir'aun, maka ibu Nabi Musa segera menyodorkan teteknya, bayi Musa segera menyusui hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa untuk tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak anak yang perlu dilayaninya. Maka Asiyah pun melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang tidak lain adalah ibu Nabi Musa sendiri.

Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Musa dilahirkan dengan hati yang penuh kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana. Demikian pula nafkah dan pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa 'alaihissalam dengan ibu dan ayahnya serta saudarinya. Saat Nabi Musa 'alaihissalam telah kembali ke istana Fir'aun, maka keluarga Musa telah mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa 'alaihissalam tumbuh seperti anak raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani, dan berpendidikan.

Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang menyusukan Nabi Musa 'alaihissalam.

Musa di Masa Dewasa

Demikianlah Nabi Musa 'alaihissalam menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan pemberani. Maka pada suatu hari, Nabi Musa 'alaihissalam berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada dua orang yang bertikai. Yang satu dari kalangan kaumnya, Bani Israil, sedangkan yang satu lagi dari penduduk asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir.

Lalu orang Bani Israil meminta bantuan kepada Nabi Musa 'alaihissalam, kemudian Nabi Musa 'alaihissalam datang dan hendak mencegah orang Mesir itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan tangannya sehingga orang Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.

Nabi Musa 'alaihissalam merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah untuk membunuhnya, tetapi untuk membela orang yang terzalimi, maka Nabi Musa 'alaihissalam bersedih, bertobat kepada Allah, dan kembali kepada-Nya, serta meminta ampunan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
وَدَخَلَ الْمَدِيْنَةَ عَلٰى حِيْنِ غَفْلَةٍ مِّنْ اَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيْهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلٰنِ ۖ هٰذَا مِنْ شِيْعَتِهٖ وَهٰذَا مِنْ عَدُوِّهٖ ۚ فَا سْتَغَا ثَهُ الَّذِيْ مِنْ شِيْعَتِهٖ عَلَى الَّذِيْ مِنْ عَدُوِّهٖ ۙ فَوَكَزَهٗ مُوْسٰى فَقَضٰى عَلَيْهِ ۖ قَا لَ هٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِيْنٌ

"Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki laki sedang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari pihak musuhnya (kaum Fir'aun). Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Dia (Musa) berkata, "Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, dia (setan itu) adalah musuh yang jelas menyesatkan." (QS. Al Qasas 28 : Ayat 15)
قَا لَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَا غْفِرْ لِيْ فَغَفَرَ لَهٗ ۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

"Dia (Musa) berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku." Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al Qasas 28 : Ayat 16)
Akan tetapi, berita itu ternyata sudah tersebar luas di kota itu dan orang orang Mesir mencari cari siapa pembunuhnya untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat Nabi Musa 'alaihissalam berjalan di kota itu, ia pun menemukan orang Bani Israil yang pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang Mesir dan meminta bantuan lagi kepada Nabi Musa 'alaihissalam.

Namun Nabi Musa 'alaihissalam marah terhadap permintaannya itu, ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani Israil itu mengira bahwa Nabi Musa 'alaihissalam hendak mendatanginya untuk memukulnya karena marah kepadanya, ia pun berkata,
فَلَمَّاۤ اَنْ اَرَا دَ اَنْ يَّبْطِشَ بِا لَّذِيْ هُوَ عَدُوٌّ لَّهُمَا ۙ قَا لَ يٰمُوْسٰۤى اَ تُرِيْدُ اَنْ تَقْتُلَنِيْ كَمَا قَتَلْتَ نَفْسًا بِۢا لْاَ مْسِ ۖ اِنْ تُرِيْدُ اِلَّاۤ اَنْ تَكُوْنَ جَبَّا رًا فِى الْاَ رْضِ وَمَا تُرِيْدُ اَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْمُصْلِحِيْنَ

"Maka ketika dia (Musa) hendak memukul dengan keras orang yang menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata, "Wahai Musa ! Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang ? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang wenang di negeri (ini), dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang orang yang mengadakan perdamaian." (QS. Al Qasas 28 : Ayat 19)
Mendengar kata kata itu, maka orang orang Mesir pun mengetahui bahwa yang membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi Musa 'alaihissalam. Maka tentara Fir'aun mulai berpikir tentang hukuman yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang yang datang kepada Nabi Musa 'alaihissalam menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, maka Nabi Musa 'alaihissalam keluar darinya dalam keadaan takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdo'a kepada Allah agar diselamatkan dari orang orang yang zalim.

Nabi Musa Meninggalkan Mesir Menuju Madyan

Nabi Musa 'alaihissalam pun pergi meninggalkan Mesir, namun ia tidak mengetahui ke mana ia harus pergi, ia berharap kepada Allah agar Dia mengarahkan ke tempat yang tepat, dan ia terus berjalan hingga sampai di sebuah kota bernama Madyan.

Ketika tiba di kota Madyan, Nabi Musa 'alaihissalam mendatangi sebuah pohon yang berada di dekat sumur, lalu duduk di bawahnya. Ia pun mendapati dua orang wanita yang membawa kambing kambing gembalaannya, dimana keduanya berdiri jauh dari sumur menunggu orang orang selesai mengambil air.

Nabi Musa 'alaihissalam mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri jauh dari keramaian orang. Maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak dapat memberi minum kambing kambingnya, melainkan setelah orang orang selesai memberi minum kambing kambing mereka.

Keduanya terpaksa melakukan demikian, karena orang tuanya sudah sangat tua, tidak sanggup melakukan pekerjaan ini. Maka Nabi Musa 'alaihissalam pun maju, lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh sepuluh orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing kambing milik keduanya.

Setelah itu, Nabi Musa 'alaihissalam kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk dapat beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar dan berdoa,
فَسَقٰى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلّٰۤى اِلَى الظِّلِّ فَقَا لَ رَبِّ اِنِّيْ لِمَاۤ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

"Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al Qasas 28 : Ayat 24)
Ketika kedua wanita itu kembali kepada orang tuanya, keduanya menceritakan kejadian yang mereka alami. Sehingga orang tua itu heran dengan orang asing yang kuat dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah seorang anaknya untuk mendatanginya dan mengundangnya menemui ayahnya untuk diberikan balasan.

Lalu salah satu wanita itu mendatangi Musa dengan rasa malu dan memberitahukan tentang undangan ayahnya. Maka Nabi Musa 'alaihissalam memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah wanita itu dengan berjalan di depan, sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil mengisyaratkan jalannya dengan melempar batu kecil.

Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka ia bertanya kepada Nabi Musa 'alaihissalam tentang nama dan perihal yang terjadi pada dirinya, Nabi Musa 'alaihissalam pun menceritakan kejadiannya, lalu orang tua itu menenangkannya.

Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar mengangkat Nabi Musa 'alaihissalam sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang kuat lagi amanah. Maka orang tua itu, menawarkan kepada Nabi Musa 'alaihissalam untuk menikahi salah satu putrinya itu dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan tahun atau sepuluh tahun jika ia mau.

Maka Nabi Musa 'alaihissalam setuju terhadap tawaran itu dan menikah dengan salah satu dari wanita itu. Ia pun mulai menggembala kambing selama sepuluh tahun. Setelah itu, Nabi Musa 'alaihissalam ingin pulang menemui keluarganya di Mesir, lalu orang tua itu menyetujuinya dan memberinya bekal selama perjalanan pulangnya ke Mesir.

Footnote

[1] Ada pula yang berpendapat, bahwa yang mendorong Fir'aun melakukan tindakan keji ini adalah karena berita yang sampai kepadanya dari Bani Israil, bahwa nanti akan muncul dari kalangan mereka seorang anak yang menjadi penyebab hancurnya kerajaan Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani Israil hingga tersebar di kalangan orang orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke telinga Fir'aun. (Shahih Qashashil Anbiya' halaman 254).

LihatTutupKomentar