Kisah Ummu Salamah

Ummu Salamah adalah seorang Ummul Mukminin yang mempunyai pribadi yang kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan suami serta anak-anaknya.

Sebab kepintaran berpikir dan ketepatannya dalam mengambil keputusan, dia mendapatkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah ﷺ. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting dari Ummu Salamah yang dapat diteladani oleh kaum muslimin, baik dari sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.

Nama dan Nasab Ummu Salamah

Nama asli Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail yang dikenal dengan nama Ummu Salamah. Ia dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzum.

Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah bernama Atikah binti Amir bin Rabi'ah bin Malik bin Jazimah bin Al-Qamah Al-Kan'aniyah yang berasal dari Bani Faras.

Demikianlah, Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani. Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam sejak kecil.

Pernikahan dan Perjuangan Ummu Salamah

Banyak pemuda Mekkah yang ingin melamar Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Ia adalah seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul Muthalib bin Hasyim, termasuk bibi Nabi Muhammad ﷺ. Abdullah adalah saudara sepersusuan Nabi ﷺ dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan kesejahteraan.

Tidak lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam. Begitu juga dengan Hindun, dia termasuk golongan orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.

Orang-orang Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah ﷺ mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habbasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka menetap di Habbasyah dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya, Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.

Setelah beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekkah, terutama setelah mendengar masuk Islamnya dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khathab dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan penyiksaan itu bertambah semakin kejam. Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, lalu Abu Thalib menyatakan perlindungan untuknya.

Cobaan Kepada Ummu Salamah

Karena orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah ﷺ mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, baik secara kelompok maupun perorangan. Abu Salamah beserta istri dan anaknya (Salamah) hijrah ke Madinah. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas serta menyandera Ummu Salamah.

Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut serta dan mereka menolak untuk menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan ia dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.

Keadaan demikian berjalan kurang lebih sampai setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepada Ummu Salamah. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, tetapi berkat keimanan dan keinginan yang kuat, Ummu Salamah mampu mengatasi semua rintangan itu dan tiba di Madinah.

Pesan Abu Salamah Kepada Ummu Salamah

Dalam membela Islam, peran Abu Salamah sangatlah besar, dia dikenal pemberani dalam berperang. Rasulullah ﷺ menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah ﷺ di Madinah ketika Beliau ﷺ pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun ke-2 Hijriyah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan perang Uhud. Ketika dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun beberapa saat kemudian dia kembali pulih.

Setelah Perang Uhud, Rasulullah ﷺ menerima berita bahwa Bani Asad akan menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah ﷺ berfikir untuk mendahului mereka. Dalam misi tersebut, Beliau ﷺ menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan pasukan lainnya.

Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah terasa kembali sehingga dia harus beristirahat sampai beberapa waktu. Ketika Abu Salamah sakit, Rasulullah ﷺ selalu menjenguk dan mendoakannya. Ummu Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan menjaganya siang dan malam.

Suatu hari, demam Abu Salamah semakin parah, kemudian Ummu Salamah berkata kepada suaminya,
"Aku mendapat berita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian juga jika si istri yang meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu."

Abu Salamah bertanya,
"Maukah engkau menta'ati perintahku ?"

Ummu Salamah menjawab,
"Adapun saya bermusyawarah hanya untuk taat."

Abu Salamah berkata,
Seandainya aku mati, maka menikahlah.

Lalu Abu Salamah berdoa kepada Allah,
"Ya Allah, karuniakanlah kepada Ummu Salamah sesudah ku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya."

Pada detik-detik terakhir hidupnya, Rasulullah ﷺ selalu berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput Abu Salamah. Rasulullah ﷺ menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali.

Di antara orang yang hadir ada yang berkata,
"Ya Rasulullah ﷺ, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa ?"

Rasulullah ﷺ menjawab,
"Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu."

Kemudian Rasulullah ﷺ melihat ke arah Ummu Salamah dan bersabda,
"Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah, "Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nya lah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakan lah bagiku dalam musibah ku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya," maka Allah akan melaksanakannya untuknya."

Setelah itu Rasulullah ﷺ berdoa,
"Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya."

Abu Salamah wafat setelah berjuang untuk menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah ﷺ. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salamah dilanda kesedihan, dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.

Setelah wafatnya Abu Salamah, para pemuka dari kalangan sahabat berlomba-lomba untuk meminang Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan kepada suaminya dan untuk melindungi Ummu Salamah. Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.

Pada saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah ﷺ dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya. Rasulullah ﷺ berkata kepadanya,
"Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada musibah mu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik."

Ummu Salamah bertanya,
"Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah ﷺ ?"

Ummu Salamah Berada di Rumah Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ mulai memikirkan permasalahan Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Rasulullah ﷺ pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.

Dalam keadaan seperti itu Rasulullah ﷺ mengutus Hathib bin Abi Balta'ah untuk menemui Ummu Salamah dengan maksud meminangnya untuk Beliau ﷺ. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dari semua orang di dunia.

Dengan pernikahan tersebut maka Ummu Salamah termasuk dari kalangan Ummahatul Mukminin, dan oleh Rasulullah ﷺ ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang diberi gelar Ummul Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.

Hal itu diceritakan oleh Ummu Salama, ia berkata,
"Aku dipersunting oleh Rasulullah ﷺ, lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (Ummul Masakiin)."

Beberapa keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan yang agung di sisi Rasulullah ﷺ, seperti sosialisasi nya dengan para Ummahatul Mukminin yang merupakan interaksi yang diliputi rasa kasih sayang dan lemah lembut.

Kedudukan Ummu Salamah

Di antara perkara yang menunjukkan kedudukan Ummu Salamah yang tinggi di sisi Rasulullah ﷺ adalah apa yang diceritakan oleh Urwah bin Zubair,
"Rasulullah ﷺ menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekkah pada hari penyembelihan (qurban), padahal saat itu merupakan hari (giliran) nya. Oleh sebab itu, Rasulullah ﷺ merasa senang atas keta'atannya."

Begitu juga hadits dari Ummi Kultsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa'ad dalam (kitab) Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata,
"Tatkala Nabi ﷺ menikahi Ummu Salamah, Beliau ﷺ berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikku."

Sebagaimana yang dikatakan Nabi ﷺ, Raja Najasyi meninggal dunia dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu Beliau ﷺ memberikan kepada setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan Beliau ﷺ memberi (sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.

Setelah Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi ﷺ memasukkannya dalam golongan ahlul bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah ﷺ berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu Salamah ada di sana.

Rasulullah ﷺ kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah Az-Zahra, disertai kedua anak Fathimah, Hasan dan Husain Radhiyallahu 'Anhuma, lalu Rasulullah ﷺ memeluk Fathimah dan berkata,
"Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya tercurah pada kalian wahai ahlul bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia."

Kemudian menangis lah Ummu Salamah, lalu Rasulullah ﷺ menanyakan tentang penyebab tangisan Ummu Salamah. Ia menjawab,
"Wahai Rasulullah ﷺ, engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan."

Rasulullah ﷺ bersabda,
"Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku."

Anak perempuan Ummu Salamah, Zainab tumbuh dalam peliharaan Rasulullah ﷺ dan ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya.

Sebelum Rasulullah ﷺ menikahi Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah ﷺ di kamar Aisyah binti Abu Bakar, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya kepada istri-istri Beliau ﷺ yang lain. Maka setelah Rasulullah ﷺ menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika Beliau ﷺ berada di kamar Ummu Salamah.

Beberapa Sikap Mulia Ummu Salamah

Di antara sikap mulia Ummu Salamah adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah ﷺ pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menemani Rasulullah ﷺ dalam perjalanannya menuju Mekkah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki Mekkah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.

Akan tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik menyia-nyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin.

Di antara mayoritas yang menyimpan rasa dendam itu adalah Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu, yang berkata kepada Rasulullah ﷺ dalam percakapannya dengan Beliau ﷺ,
"Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita ?"

Rasulullah ﷺ menjawab,
"Aku adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku."

Akan tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah ﷺ menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban lalu kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau ﷺ mengulang seruannya sampai tiga kali tanpa ada sambutan.

Beliau ﷺ menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin. Maka Ummu Salamah berkata,
"Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin ? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurban mu serta memanggil tukang cukur yang mencukur mu."

Rasulullah ﷺ kagum atas pendapatnya dan bangkit untuk mengerjakan sebagaimana yang diusulkan oleh Ummu Salamah. Ketika kaum muslimin melihat Rasulullah ﷺ mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah ﷺ yang mendahului mereka.

Ummu Salamah telah menyertai Rasulullah ﷺ dalam banyak peperangan, yaitu peperangan Khaibar, pembebasan Mekkah (Fathul Makkah), pengepungan Tha'if, peperangan Hawazin, Tsaqif, kemudian ikut bersama Rasulullah ﷺ pada Haji Wada'.

Kita tidak melupakan sikap Ummu Salamah terhadap Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu, ketika Umar datang kepadanya dan mengajak bicara tentang masalah keperluan Ummahatul Mukminin kepada Rasulullah ﷺ serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah ﷺ. Maka Ummu Salamah berkata,
"Engkau ini aneh, wahai Ibnul Khathab, engkau telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah ﷺ beserta istri-istrinya ?"

Setelah Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Ummu Salamah senantiasa mengenang Beliau ﷺ dan sangat berduka cita atas wafatnya Rasulullah ﷺ. Ummu Salamah senantiasa banyak melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta banyak meriwayatkan hadits yang berasal dan Rasulullah ﷺ.

Ummu Salamah telah meriwayatkan sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah ﷺ dan suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah Az-Zahra. Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya, para pemuka, para sahabat, serta ahli hadits.

Di antara beberapa sikap Ummu Salamah yang nyata adalah ketika hari pembebasan kota Mekkah. Waktu itu Nabi Muhammad ﷺ keluar dari Madinah bersama pasukannya dengan kehebatan dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan maksud menemui Rasulullah ﷺ untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.

Termasuk dari mereka diantaranya adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib (anak dari paman Rasulullah ﷺ) serta Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah (anak bibi Rasulullah ﷺ, saudara Ummu Salamah seayah). Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah ﷺ, Beliau ﷺ enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka yang keras terhadap kaum muslimin ketika Beliau ﷺ akan hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Maka berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah ﷺ dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah ﷺ,
"Wahai Rasulullah ﷺ, mereka berdua adalah anak pamanmu dan anak bibimu (dari ayah) serta iparmu."

Rasulullah ﷺ menjawab,
"Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak pamanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekkah dengan apa yang ia katakan.

Pernyataan itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah ﷺ. Maka Abu Sufyan berkata,
"Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku (pada saat itu ia bersama anaknya, Ja'far) kemudian kami harus berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan."

Kemudian Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah ﷺ dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati Beliau ﷺ menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah Abu Sufyan bin Harits beserta Abdullah bin Umayyah bin Mughirah dan menyatakan keislaman serta bertaubat di hadapan Rasulullah ﷺ.

Sikap Ummu Salamah Terhadap Fitnah

Ummu Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhuma.

Pada masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah semakin memuncak di langit kaum muslimin. Maka Ummu Salamah pergi menemui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah ﷺ serta petunjuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab, tidak menyimpang dari petunjuk tersebut selama-lamanya.

Apa yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Qur'an dan angin fitnah telah bertiup kencang terhadap kaum muslimin. Pada saat itu Aisyah Radhiyallahu 'Anha telah membulatkan tekad untuk keluar menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah serta Zubair bin 'Awwam dengan tujuan memobilisasi pasukan untuk melawan Ali bin Abi Thalib.

Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
"Dari Ummu Salamah, Istri Nabi ﷺ, untuk Aisyah Ummul Mu'minin.

Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.

Amma ba'du...

Engkau sungguh telah merusak pembatas antara Rasulullah ﷺ dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.

Sungguh Al-Qur'an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya. Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya Beliau ﷺ berpesan kepadamu untuk menjaganya.

Tidakkah engkau tahu bahwasanya Beliau ﷺ melarang mu agar tidak melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya."

Ummu Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena Beliau ﷺ mengikuti kesepakatan kaum muslimin atas terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah mengirim atau mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalam barisan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu.

Wafatnya Ummu Salamah

Pada tahun ke-59 Hijriyah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas menuju hadirat-Nya.

Ummu Salamah meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Ummu Salamah dishalatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu dan dikuburkan di Al Baqi', di samping kuburan Ummahatul Mukminin yang lain.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Aamiin...

#ummu salamah, #kisah ummu salamah, #sirah ummu salamah, #sayyidah ummu salamah, #umar bin abu salamah,
LihatTutupKomentar