Biografi Sa’id bin Jubair

Nama lengkapnya Sa’id bin Jubair bin Hisyam Al Asadi, biasa dipanggil Abu Abdillah. Ia dilahirkan pada tahun 45 Hijriyah. Ia berasal dari keturunan Habasyah (Ethiopia) dan menjadi maula Walibah bin Harits dari Bani Asad.

Ia tinggal di Kufah dan menjadi salah seorang ulama terkemuka tabi’in di sana. Hadits hadits riwayatnya diriwayatkan oleh pengarang Kutub As Sittah.

Ia mempelajari Al Qur’an kepada Ibnu Abbas. Di antara ahli Al Qur’an yang pernah belajar kepadanya adalah Abu Amr bin ‘Ala, salah satu di antara ulama ahli qira’at As Sab’ah. Ia dijuluki dengan Jahbadz Al ’Ulama (pemuka ulama).

Pada saat Ibnu Abbas berkunjung ke Kufah, penduduk setempat meminta fatwa kepadanya tentang masalah masalah haji. Ia menjawab, "Mengapa kalian meminta fatwa kepada saya, sementara di tengah tengah kalian ada Ibnu Ummu Dahma’ (maksudnya Sa’id bin Jubair)."

Setiap malam ia selalu bangun untuk menunaikan shalat malam. Ia sering kali menangis di tengah keheningan malam, sampai sampai penglihatannya menjadi kabur.

Di Kufah, ia pernah menjadi sekretaris Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, kemudian menjadi sekertaris Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari, hakim wilayah Kufah pada masa itu. Suatu malam, ia membaca firman Allah, "Dan (dikatakan kepada orang orang kafir), berpisahlah kamu (dari orang orang mukmin) pada hari ini, hai orang orang yang berbuat jahat." (QS. Yasin : 59). Ia terus membaca ayat ini sampai tiba waktu subuh.

Ia memiliki seekor ayam jago yang selalu membangunkannya tiap malam. Suatu malam, ayam jagonya tidak berkokok hingga waktu subuh. Pada malam itu, ia akhirnya tidak mengerjakan shalat malam. Hal ini membuatnya gelisah dan berkata, "Bagaimana sekiranya Allah membuatnya berhenti berkokok ?" Sesudah itu, ayam jago tidak pernah berkokok lagi. Ibu Sa’id mengatakan, "Wahai anakku, sesudah ini kamu jangan memohon seperti itu lagi."

Ia pernah bermunajat kepada Allah dan berkata, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ketulusan tawakkal kepada-Mu dan baik sangka terhadap-Mu."

Ia pernah berkata, "Tawakkal kepada Allah adalah intisari dari iman."

Ia meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, Dhahhak, dan lainnya. Diantara perawi yang meriwayatkan hadits darinya adalah Abu Shaleh As Samman, Ayyub As Sakhistani, Hamad, Salim Al Afthah, dan lainnya.

Suatu hari, Sa’id bersama Abdurrahman bin Asy’ats melakukan perlawanan kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan. Setelah Ibnu Asy’ats terbunuh, para sahabatnya melarikan diri ke pemukiman kabilah Jamajim, sementara Sa’id melarikan diri ke Mekkah.

Gubernur Mekkah, Khalid Al Qurasi berhasil menangkap Sa’id, lalu menyerahkan kepada Al Hajjaj bin Yusuf, orang yang melaporkan pelariannya ke Mekkah kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan. Kemudian antara Sa’id dan Al Hajjaj bin Yusuf terlibat dialog.

Kemudian Al Hajjaj menyuruh pembantunya untuk mengambil mutiara, batu mulia, dan yakut, lalu Al Hajjaj menawarkannya kepada Sa’id. Kemudian antara mereka berdua terlibat dialog kembali.

Pada saat keluar dari pintu, Sa’id tersenyum (tertawa). Hal ini pun disampaikan kepada Al Hajjaj. Lalu Al Hajjaj menyuruh pembantunya untuk menghadirkan Sa’id di hadapannya. Kemudian antara mereka berdua terlibat dialog kembali.

Kemudian Al-Hajjaj menyuruh pembantunya untuk mengambil dan menggelar permadani.
Bunuhlah dia," kata Al Hajjaj kepada pembantunya.

Kemudian Al Hajjaj berteriak dan mengatakan kepada pembantunya, "Tebaslah lehernya."

Kata terakhir yang keluar dari mulut Sa’id adalah, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Cabutlah nyawaku hingga aku bersua dengan-Mu pada hari kiamat kelak. Ya Allah, janganlah Engkau berikan kuasa kepada Al Hajjaj untuk membunuh seorang pun sesudah ini."

Hajjaj membunuh Sa’id di kota Wasith pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu, Sa’id meninggal dalam usia 49 tahun. Kepala Sa’id terpisah dari raganya. Meski telah terpisah, Sa’id masih sempat melafalkan kalimat "Laa ilaaha illallah."

Allah mengabulkan do’anya. Al Hajjaj, setelah membunuh Sa’id, tidak pernah bisa hidup tenang. Setiap mau tidur, ia selalu dihantui rasa bersalah karena telah membunuh Sa’id, sehingga membuatnya tidak bisa tidur.

Ketika akan meninggal, ia mengatakan, Apa yang terjadi antara aku dan Sa’id bin Jubair. Setiap kali mau tidur, ia selalu menyeret kakiku."

Sesudah kejadian itu, Hajjaj hanya bertahan hidup selama beberapa hari, sehingga Al Hajjaj tidak pernah membunuh seorang pun sesudah membunuh Sa’id.

Maimun bin Mahran pernah berkata, "Sa’id bin Jubair telah meninggal dan tidak ada seorang pun di muka bumi ini, melainkan ia membutuhkan ilmunya."

Kata Kunci:
sa'id bin jubair, biografi sa'id bin jubair, kisah sa'id bin jubair, sa'id bin zaid, karya sa'id bin jubair
LihatTutupKomentar